MAKNA DAN KEDUDUKAN HUKUM
NASKAH PROKLAMASI
*FILSAFAT PANCASILA
1. PENDAHULUAN
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia merupakan hasil perjuangan
yang gigih para pendiri Negara (founding father). Asal kata Proklamasi
adalah dari kata “proclamatio” (bahasa Yunani) yang artinya pengumuman
kepada seluruh rakyat. Pengumunan tersebut terutama pada hal-hal yang
berhubungan dengan ketatanegaraan. Proklamasi Kemerdekaan
merupakan pengumuman kepada seluruh rakyat akan adanya kemerdekaan.
Pengumuman akan adanya kemerdekaan tersebut sebenarnya tidak
hanya ditujukan kepada rakyat dari negara yang bersangkutan namun juga
kepada rakyat yang ada di seluruh dunia dan kepada semua bangsa yang
ada di muka bumi ini.
Dengan Proklamasi, telah diserukan kepada warga dunia akan
adanya sebuah negara baru yang terbebas dari penjajahan negara lain.
Dengan Proklamasi, telah lahir sebuah negara baru yang memiliki kedudukan
yang sama dengan negara-negara lain yang telah ada sebelumnya. Proklamasi
menjadi tonggak awal munculnya negara baru dengan tatanan kenegaraannya yang
harus dihormati oleh negara-negara lain di dunia. Proklamasi Kemerdekaan bagi
suatu bangsa juga dapat merupakan puncak revolusi, tonggak sejarah perjuangan
bangsa tersebut yang telah lama dilakukan untuk dapat terbebas dari belenggu
penjajah. Proklamasi Kemerdekaan bagi suatu bangsa yang belum merdeka merupakan
sesuatu yang sangat di idam-idamkan untuk terlaksananya, dikarenakan dengan
Proklamasi Kemerdekaan, bangsa yang bersangkutan dapat hidup sederajat dengan
bangsa-bangsa lain.
Dengan Proklamasi Kemerdekaan, bangsa yang bersangkutan dapat
meningkatkan taraf kehidupan bangsanya. Dengan Proklamasi Kemerdekaan bangsa
yang bersangkutan dapat meningkatkan taraf kecerdasan bangsanya serta dapat
mengejar segala ketertinggalan yang dialami oleh bangsanya dengan mengembangkan
segala potensi yang dimilikinya. Oleh karenanya Proklamasi Kemerdekaan bagi
suatu bangsa merupakan sesuatu yang tak ternilai harganya, sehingga untuk
meraihnya, suatu bangsa harus berjuang mati-matian penuh pengorbanan.
2. PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Konstitusi dan Undang-Undang
Dasar
Aturan tata tertib hidup bernegara yang menjadi dasar
segala tindakan dalam kehidupan negara sering disebut sebagai
hukum dasar atau konstitusi. Konstitusi sering disebut sebagai
Undang-Undang Dasar, meskipun arti konstitusi itu sendiri adalah hukum dasar
yang tertulis dan tidak tertulis. Undang-Undang Dasar tergolong hukum dasar
yang tertulis, sedangkan hukum dasar yang tidak tertulis adalah aturan-aturan
dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara, meskipun
tidak tertulis. Hukum dasar yang tidak tertulis ini sering disebut konvensi.
Alenia pertama
Naskah Proklamasi merupakan cerminan dari prinsip self determination (hak bangsa Indonesia untuk menyatakan sendiri
kemerdekaannya) dan alenia kedua berisi ajaran tentang konstitusionalisme (intinya berupa pembatasan kekuasaan, yang
ditafsirkan dari kalimat “Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan d.l.l,
diselenggarakan dengan cara seksama dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”).
Pola hubungan
satu keterkaitan antara Naskah Proklamasi; Piagam Jakarta, dan Pembukaan UUD
1945 diatas adalah berupa nilai-nilai, prinsip-prinsip, dan asas-asas yang
mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, yaitu :
a.
Asas self determination (hak untuk menentukan nasib sendiri)
b.
Prinsip freedom of nation
and state (prinsip berdirinya bangsa dan Negara yang merdeka).
c.
Asas kebebasan, persamaan,
persatuan, dan keadilan.
d.
Volksgeist (jiwa bangsa)
e.
Staatsidee (cita negara)
f.
Rechtsidee
(cita hukum)
g.
Falsafah Negara
2.2.
Kedudukan Hukum Naskah Proklamsi
Letak kedudukan hukum Naskah Proklamasi dalam system ketatanegaraan
RI. Secara teoritik, stufenbautheorie adalah
sebuah teori yang tepat untuk melihat kedudkan hukum Naskah Proklamasi.
Sedangkan secara praktis, letak dan kedudukan hukum Naskah Proklamasi dapat
ditelusuri melalui hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia.
a.
Menurut Ajaran
Grundnorm (Kelsen)
Secara konsepsional, apakah Naskah Proklamasi dapat dikualifikasi
sebagai Grundnorm (perspektif Hans
Kelsen) atau lebih tepat sebagai staatsfundamentalnorm
(perspektif Hans Nawiasky).
Untuk mengetahui letak kedudukan hukum Naskah Proklamasi dalam
system Ketatanegaraan RI, secara teoritik dapat menggunakan stufenbautheorie (Kelsen maupun
Nawiasky) dan teori sumber hukum sebagai pisau analisisnya. Elaborasi
praktikalnya dapat ditelusuri melalui kerangka hierarki peraturan
perundang-undangan sebagaimana telah diatur dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peratutan Perundang-undangan.
Grundnorm dalam persepektif Kelsen dapat dikualifikasi ke dalam empat
indicator atau karakteristik utama yaitu :
a. Sesuatu yang abstrak,
diasumsikan, tidak tertulis, dan mempunyai daya keberlakuan secara universal.
b. Ia tidak gesetzt (ditetapkan), melainkan vorausgesetzt (diasumsikan) adanya oleh
akal budi manusia.
c. Ia tidak termasuk ke dalam
tata hukum positif, Ia berada di luar namun menjadi landasan keberlakuan
tertinggi tatanan hukum positif (jadi ia meta
juristic).
d. Seyogianya seseorang
mentaati atau berperilaku seperti yang ditetapkan oleh konstitusi.
Mengacu pada
pengertian dan indicator Grundnorm dalam perspektif Kelsen,
kedudukan hukum Naskah Proklamasi tidak dapat dikualifikasikan secara penuh
sebagai Grundnorm. Argumentasinya,
karena Proklamasi (Naskah Proklamasi) itu merupakan tindakan politik yang
konkret, faktual adanya, berbentuk tertulis, dan keberlakuannya bersifat
particular. Di samping itu, keberadaan Naskah Proklamsi ada yang menetapkan
yaitu Soekarno dan Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Itu artinya,
indicator (a) dan (b) di atas tidak terpenuhi. Meskipun dua indikator yang lain
(butir c dan d) terpenuhi yaitu ; Naskah Proklamasi itu bersifat meta juristic , artinya berada diluar
system hukum dan menjadi landasan keberlakuan tertinggi tatanan hukum positif.
Argumentasinya
adalah karena Naskah Proklamasi di samping merupakan sumber keberlakuan hukum
tertinggi dan/atau terakhir, ia juga menjadi dasar keharusan ditaatinya hukum
positif. Logika hukumnya adalah, tanpa proklamasi tanggal 17 agustus 1945, maka
Negara Indonesia yang merdeka belum tentu ada dan berdiri. Begitu seterusnya
tatanan dan system hukum nasional juga tidak akan terbentuk. Realis sejarah
ketatanegaraan ini justru membuktikan sebaliknya, bahwa proklamasi kemerdekaan
itulah yang menjadi dasar atau landasan untuk segera dibentuk system hukum
nasional (termasuk hukum positif tertulisnya) dan sistem ketatanegaraan
Republik Indonesia dibangun, meskipun dalam bentuknya yang masih sederhana.
b.
Menurut Ajaran
Staatsfundamentalnorm (Nawiasky)
Berdasarkan
ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan
perundang-undangan, disana disebutkan bahwa jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan . Mengacu pada sumber hukum formal atau hierarki peraturan
perundang-undangan diatas, keberadaan dan kedudukan Naskah Proklamasi tidak
mendapat tempat didalamnya. Meskipun demikian keberadaan Naskah Proklamasi
berada di atas atau mendahului UUD 1945, sebab norma tertinggi dalam praktik
ketatanegaraan RI itu tiada lain adalah konstitusi. Persoalan dalam konstitusi
Indonesia terdiri dari unsure pembukaan dan Pasal-pasal UUD 1945, dimana pada
bagian pembukaannya terdiri dari nilai-nilai Proklamasi dan Pancasila, itu
adlah fakta hukum yang tidak bisa dipungkiri.
Kesimpulannya
bahwa kedudukan hukum Naskah Proklamasi itu berada dalam ranah sumber hukum
materiil, sedangkan dalam ranah sumber hukum formal atau hierarki peraturan
perundang-undangan keberadaan Naskah Proklamasi tidak mendapat tempat
didalamnya.
2.3. Undang-Undang Dasar 1945 bagian Pancasila
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Konstitusi pertama bangsa Indonesia
di dalamnya terdiri dari tiga bagian, yaitu Bagian Pembukaan, Bagian Batang
Tubuh, dan Bagian Penjelasan. Dalam isinya terkandung nilai-nilai ideologi
Pancasila yang ada dalam sila-silanya.
a. Bagian
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
Bagian Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan suasana
kebatinan dari Undang-Undang Dasar 1945 (Konstitusi Pertama), dikarenakan di
dalamnya terkandung Empat Pokok Pikiran yang pada hakikatnya merupakan
penjelmaan asas kerohanian negara yaitu Pancasila.
1) Pokok
Pikiran Pertama, yaitu “Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Hal ini berarti bahwa negara
menghendaki persatuan dengan menghilangkan faham golongan, mengatasi segala
faham perseorangan. Dengan demikian Pokok Pikiran Pertama merupakan penjelmaan
Sila Ketiga Pancasila.
2) Pokok Pikiran
Kedua yaitu “Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia”. Hal ini merupakan pokok pikiran keadilan sosial yang didasarkan
pada kesadaran bahwa manusia mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk
menciptakan keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian Pokok
Pikiran Kedua merupakan penjelamaan Sila Kelima Pancasila;
3) Pokok Pikiran
Ketiga yaitu “Negara yang berkedaulatan rakyat, berdasar atas kerakyatan dan
permusyawaratan/perwakilan”. Hal ini menunjukkan bahwa sistem negara yang
terbentuk dalam Undang- Undang Dasar haruslah berdasarkan atas kedaulatan
rakyat dan berdasar permusyawaratan/perwakilan. Pokok Pikiran Ketiga merupakan
penjelmaan Sila Keempat Pancasila;
4) Pokok Pikiran
Keempat yaitu “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab”. Hal ini menunjukkan konsekuensi logis bahwa
Undang-Undang Dasar harus mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan
lain-lain penyelenggara negara untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang
luhur, dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.
Dengan demikian Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Konstitusi pertama
negara Indonesia berdasar dan diliputi oleh nilai-nilai kerohanian: Ketuhanan,
Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan. Dasar-dasar kerokhanian
Ketuhanan dan Kemanusiaan memberikan ciri dan sifat Konstitusi pertama negara
Indonesia berasas kerokhanian nilai-nilai religius, nilai-nilai moral dan
kodrat manusia. Suasana kerokhanian Persatuan dan Kerakyatan memberikan sifat
dan ciri Konstitusi pertama negara Indonesia merupakan suatu satu kesatuan
dengan peraturan perundang-undangan lainnya, sehingga merupakan suatu kesatuan
Tertib Hukum Nasional Indonesia. Sedangkan suasana kerokhanian Keadilan
memberikan ciri dan sifat bahwa Konstitusi pertama negara Indonesia berdasarkan
nilai-nilai keadilan kemanusiaan dan keadilan dalam hidup bersama, baik dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pengungkapan dasar filsafat negara dari Negara Republik Indonesia yang
diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 dapat dicermati dari kalimat yang
ada dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat yang menyatakan:
“…dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan
beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia…” Dasar filsafat negara
diperlukan agar negara tersebut memiliki pedoman atau patokan untuk suatu
kehidupan bernegara yang tertib, terarah dan terencana, sehingga menjadi suatu
negara yang bermartabat di mata bangsa-bangsa lain di dunia. Dari ketentuan
tersebut tersurat adanya Pancasila sebagai dasar filsafat negara yang
mengandung makna bahwa segala aspek kehidupan kebangsaan, kemasyarakatan dan
kenegaraan harus berdasarkan nilai-nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan,
Kerakyatan dan Keadilan. Sebagai dasar filsafat negara, Pancasila merupakan
dasar nilai serta norma untuk mengatur penyelenggaraan negara. Pancasila
menjadi asas kerokhanian yang menjadi sumber nilai, norma serta kaidah moral
maupun hukum negara. Oleh karenanya sebagai dasar filsafat negara, Pancasila
sering disebut pula sebagai ideologi negara (Staatsidee) yang mengandung
konsekuensi bahwa seluruh pelaksanaan dan penyelenggaraan negara serta segala
peraturan perundang-undangan yang ada dijabarkan dari nilai-nilai Pancasila,
dan Pancasila merupakan sumber tertib hukum Indonesia.
2.4 HUBUNGAN
ANTARA PROKLAMASI KEMERDEKAAN DAN UUD 1945
Proklamasi kemerdekaan mempunyai hubungan yang erat, tidak dapat
dipisahkan dan merupakan satu kesatuan dengan Undang-Undang Dasar 1945 terutama
bagian Pembukaan UUD 1945. Proklamasi kemerdekaan dengan Pembukaan UUD 1945
merupakan suatu kesatuan yang bulat. Apa yang terkandung dalam Pembukaan UUD
1945 merupakan suatu amanat yang luhur dan suci dari Proklamasi Kemerdekaan 17
Agustus 1945. Makna Proklamasi Kemerdekaan yaitu pernyataan bangsa Indonesia
kepada diri sendiri maupun kepada dunia luar bahwa bangsa Indonesia telah
merdeka, dan tindakan-tindakan yang segera harus dilaksanakan berkaitan dengan
pernyataan kemerdekaan itu, telah dirinci dan mendapat pertanggungjawaban dalam
Pembukaan UUD 1945.
Hal ini dapat dilihat pada:
1) Bagian
pertama (alinea pertama) Proklamasi Kemerdekaan (“Kami bangsa Indonesia dengan
ini menyatakan kemerdekaan Indonesia”) mendapat penegasan dan penjelasan pada
alinea pertama sampai dengan alinea ketiga Pembukaan UUD 1945.
2) Bagian kedua
(alinea kedua) Proklamasi Kemerdekaan (“Hal-hal yang mengenai pemindahan
kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo
yang sesingkat-singkatnya”) yang merupakan amanat tindakan yang segera harus
dilaksanakan yaitu pembentukan negara Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila dan termuat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat.
Pembukaan UUD 1945 dengan Batang Tubuh UUD 1945 merupakan bagian
yang tidak terpisahkan. Apa yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 telah
dijabarkan kedalam pasal-pasal yang ada dalam Batang Tubuh UUD 1945.
Pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 dijelmakan dalam
pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu dapat pula disimpulkan
bahwa Pembukaan UUD 1945 mempunyai fungsi atau hubungan langsung dengan
pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945. Meskipun Pembukaan UUD 1945 mempunyai
hubungan yang tidak dapat dipisahkan dengan Batang Tubuh UUD 1945, namun antara
keduanya mempunyai kedudukan yang terpisah. Hal ini dikarenakan bahwa Pembukaan
UUD 1945 merupakan pokok kaidah Negara yang mendasar (staatsfundamentalnorm)
yang tidak dapat dirubah oleh siapapun kecuali oleh pembentuk Negara. Untuk
dapat dikatakan sebagai Pokok Kaidah Negara yang mendasar
(Staatsfundamentanorm) harus memiliki unsur-unsur mutlak, antara lain :
1. Dari segi
terjadinya, ditentukan oleh pembentuk Negara dan terjelma dalam suatu
pernyataan lahir sebagai penjelmaan kehendak pembentuk Negara untuk menjadikan
hal-hal tertentu sebagai dasar-dasar Negara yang dibentuknya;
2. Dari segi isinya,
memuat dasar-dasar pokok negara, yaitu dasar tujuan Negara baik tujuan
umum maupun tujuan khusus, bentuk negara, dan dasar filsafat Negara (asas
kerokhanian Negara).
Sebagaimana telah diuraikan di atas, Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 telah memenuhi unsur-unsur sebagai Pokok Kaidah Negara yang mendasar
(Staatsfundamentalnorm).
Pembukaan UUD 1945 juga memiliki hakikat kedudukan hukum yang lebih
tinggi dari pada pasal-pasal dalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945.
Sedangkan Batang Tubuh UUD 1945 yang merupakan penjabaran dari pokok-pokok
pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 memiliki sifat supel, artinya
dapat mengikuti perkembangan jaman sehingga memungkinkan untuk dilakukan
perubahan yang sesuai dengan perkembangan jaman.
Dengan demikian jika kita mencermati hubungan antara Proklamasi
Kemerdekaan dengan Pembukaan UUD 1945 yang merupakan hubungan suatu kesatuan
bulat, serta hubungan antara Pembukaan UUD 1945 dengan Batang Tubuh UUD 1945
yang merupakan hubungan langsung, maka dapat disimpulkan bahwa Proklamasi
Kemerdekaan mempunyai hubungan yang erat, tidak dapat dipisahkan dan merupakan
satu kesatuan dengan Undang-Undang Dasar 1945.