Rabu,
24 Oktober 2012, pemberian ijin pengelolaan
pariwisata alam di 102,22 hektar Taman Hutan Mangrove (Tahura) Ngurah
Rai pada PT. Tirta Rahmat Bahari (PT.TRB) dan pengurugan laut dalam pembangunan
Jalan diatas perairan (JDP) kembali menuai protes. Puluhan
aktivis lingkungan yang tergabung dalam Komite Kerja Advokasi Lingkungan (KEKAL
Bali ) kembali menggelar aksi di depan kantor Gubernur Bali untuk menolak
pemberian ijin tersebut. Aksi ini merupakan kelanjutan dari beberapa aksi
#SaveMangrove yang digelar KEKAL Bali terkait advokasi mangrove.
Aksi
kali ini tergolong unik karena adanya suguhan tarian “Gangnam Style” dari
peserta aksi. Dengan kompaknya peserta aksi yang menggunakan topeng wajah Gubernur
Bali, Made Mangku Pastika, menarikan “Gangnam Style” yang sepintas terlihat
seperti orang menunggang kuda. Wayan
Gendo Suardana, Ketua Dewan Daerah Walhi Bali, menyatakan bahwa aksi tarian “Gangnam-Style”
ini adalah bentuk respon atas tuduhan gubernur bahwa Walhi ditunggangi dalam
gerakannya menolak privatisasi kawasan hutan mangrove.
“Silahkan
Bapak Gubernur untuk membuktikan semua tudingannya secara terbuka kepada
publik. Silahkan kami diaudit, baik itu SMS, BBM, pembicaraan telpon, atau
email. Juga audit rekening bank kami. Tapi setelah itu kami tantang balik juga.
Ijinkan kami untuk mengaudit balik komunikasi dan keuangan Gubernur Bali sejak
PT. TRB berdiri” tegas Gendo.
“Atas
tudingan Gubernur tehadap WALHI Bali, WALHI Bali menantang Gubernur Bali untuk
membuktikan tudingannya tersebut serta menantang gubernur melakukan debat
terbuka di depan publik terkait Ijin Pemanfaatan Hutan Mangrove dan dugaan
pelanggaran AMDAL dalam proyek JDP berupa pengurugan batu kapur di laut untuk
kepentingan pemasangan tiang pancang yang diduga illegal,” tantang Ketua Dewan
Daerah Walhi Bali ini.
Pada
beberapa media cetak, Gubernur Bali menyatakan bahwa pemberian ijin pengelolaan
pariwisata alam Tahura Ngurah Rai sudah dikaji selama dua tahun. Namun, kemudian
terkuak bahwa persetujuan ijin prinsip yang diberikan gubernur melalui Surat
Gubernur Bali nomor 523.33/873/dihut-4 tanggal 29 Juli 2011 ternyata berselisih
tiga bulan sejak PT. TRB mengajukan ijin melalui surat Direktur Utama PT Tirta
Rahmat Bahari dengan nomor : 001/TRB/DPS/IV/2011 tanggal 27 april 2011. Persetujuan
ijin prinsip tersebut lalu diperkuat dengan Keputusan Gubernur Nomor
1.051/03-L/HK/2012 tanggal 27 Juni 2012.
“Apa
yang disampaikan Gubernur bertentangan dengan fakta hukum yang menunjukkan Keputusan Gubernur
dikeluarkan hanya berjarak 14 bulan sejak pertama kali surat diajukan oleh PT
TRB. Bahkan ijin prinsip malah dikeluarkan hanya 3 bulan setelah surat pengajuan
ijin pemanfaatan Tahura” papar Suriadi, Deputi Direktur Walhi Bali.
Menyikapi
munculnya kekhawatiran berbagai kalangan masyarakat bahwa pemberian ijin
pengelolaan pariwisata alam Tahura Ngurah Rai akan mengancam kelestarian
mangrove, Gubernur Bali pun memberikan pernyataan dan jaminan tidak ada
pembabatan hutan di sana. Bahkan kalau ada, Pemprov sangat serius dengan
penetapan keputusan yang memberikan izin kepada PT TRB, izin bisa dicabut
sewaktu-waktu kalau melanggar.
Namun,
Deputy Direktur Walhi Bali ini menganggap jaminan tersebut hanya angin surga
belaka karena gubernur sendiri memberikan celah hukum untuk melakukan
penebangan dalam keputusan persetujuannya. Dalam lampiran Keputusan Gubernur
Nomor 1.051/03-L/HK/2012, Bagian B, nomor 3 menyebutkan bahwa “Perusahaan dalam
membangun dalam membangun sarana dan prasarana pariwisata alam didasarkan
kepada design fisik dan site-plan
yang telah disahkan dan dilarang menebang pohon tanpa izin yang dikeluarkan
Dinas Kehutanan Provinsi Bali”.
“Siapa
yang berani menjamin tidak akan ada penebangan pohon mengingat dalam melakukan
penebangan pohon pihak investor hanya membutuhkan ijin khusus dari dinas
kehutanan” gugat Deputy Direktur Walhi Bali ini.
Dalam presentasinya, PT. TRB, investor
Tahura Ngurah Rai, berencana akan membangun 75
vila, 8 restoran, 2 spa, dll di kawasan
hutan mangrove dengan ijin pengusahaan seluas 102.22 ha dalam jangka waktu 55 tahun. Bagi KEKAL BALI, pemberian
ijin privatisasi kawasan mangrove oleh Gubernur Bali ini sama sekali
bertentangan dengan jargon “Bali Clean and Green” dan kebijakan moratorium
pembangunan akomodasi pariwisata di Bali selatan. “Seharusnya Gubernur bali
menambah kawasan hutan kini hanya tinggal + 22% dari jumlah minimal 30%.
Bukan malah mengijinkan privatisasi kawasan mangrove kepada investor” Tegas
Pande Taman Bali, perwakilan Frontier-Bali.
Pande menyatakan jika Pemprov Bali tidak sanggup untuk mengelola Hutan Mangrove Ngurah Rai dengan alasan kekurangan
SDM ataupun dana, sebaiknya tata kelola kehutanan diberikan kepada masyarakat
adat di sekitar TAHURA. “Bukan kepada segelintir orang yang belum
jelas track recordnya dalam pengelolaan hutan” protesnya.
Mahasiswa hukum salah satu kampus di
denpasar ini kemudian mencontohkan kisah sukses masyarakat dalam pengelolaan
dan perlindungan Monkey Forest di Padang Tegal dan pengelolaan dan perlindungan
hutan mangrove di Jungut Batu. “Tata kelola yang di bangun dengan partisipasi
rakyat memberikan dampak positif bagi kelestarian hutan, peningkatan perekonomian, serta terbukti berhasil
meningkatkan taraf hidup” paparnya.
Menutup aksinya, perwakilan KEKAL Bali membacakan
pernyataan sikap yang secara tegas menuntut Gubernur
Bali segera mencabut izin Pengusahaan Pariwisata Alam PT TRB. Sambil melakukan perluasan hutan untuk memenuhi target minimal 30% sesuai undang-undang. KEKAL BALI
juga menuntut Gubernur Bali memberikan sanksi tegas
atas pelanggaran AMDAL pada pembangunan Proyek Jalan Diatas Perairan.
sumber : walhibali.org