KONTROVERSI PERDA RTRW PROVINSI BALI NO. 16 TAHUN 2009
KONTROVERSI PERDA RTRW PROVINSI BALI NO. 16 TAHUN 2009
Oleh : Guntur Siliwangi
Peraturan
Daerah Nomor 16 tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali
Tahun 2009-2029 menuai kontroversi dari sejak pembentukan sampai ditetapkan
menjadi Perda. 7 (Tujuh) kabupaten/kota di Bali menolak pemberlakuan perda
tersebut bahkan saat ini seluruh kabupaten/kota di Bali secara positif meminta
agar perda tersebut segera direvisi. Hal yang paling pokok menjadi penolakan
dalam perda tersebut adalah ketentuan mengenai radius kesucian pura sesuai
Bhisama PHDI, ketinggian bangunan serta batas/sempadan pantai.
Permasalahannya
Perda RTRW Propinsi Bali yang mewujudkan ketahanan lingkungan mendapatkan
tentangan dengan berbagai argumentasi dari sebagaian besar kabupaten kota di
Bali. Argumen yang digunakan adalah Perda RTRW Bali dipandang sebagai perda
yang tidak akomodatif terhadap kepentingan kabupaten/kota terutama menyangkut
peningkatan Pendapatan asli daerah (PAD). Perda ini dianggap akan
menghalang-halangi peningkatan investasi di daerah tersebut sehingga menghambat
peningkatan Pendapatan Asli Daerah. Dari pendapat itu seolah-olah apabila Perda
RTRW Propinsi bali direvisi maka akan ada investasi dan ada peningkatan
Pendapatan Asli Daerah, sehingga kesejahteraan rakyat di daerah tersebut akan
meningkat. Namun Benarkah demikian? Dan siapa yang berani menjamin apabila
Perda tersebut direvisi maka akan ada investasi dan ada peningkatan Pendapatan
Asli Daerah, sehingga kesejahteraan rakyat di daerah tersebut akan meningkat?
Dalam
pembentukan Perda ini tentu saja tidak mengesampingkan fakta bahwa Bali juga
bertumpu kepada sektor pariwisata. Sehingga dalam pengaturan penetapan kawasan
strategis Bali dari sudut kepentingan pariwisata juga diatur dalam perda ini,
artinya sektor pariwisata dipandang sebagai potensi besar untuk mewujudkan
kesejahteraan warga Bali. Dengan demikian maka pariwisata Bali yang bertumpu
pada budaya dan keindahan alam Bali harus dijaga kelangsungannya. Dalam konteks
inilah ketentuan radius kawasan suci, ketentuan ketinggian bangunan serta
sempadan pantai menjadi elemen yang krusial dalam pemanfaatan ruang Propinsi
Bali.
Perda
RTRW Propinsi Bali tahun 2009-2029 yang mengacu pada Undang-undang no 26 tahun
2007 tentang penataan ruang, secara singkat dapat dikatakan sebagai sebuah peraturan
yang cukup ideal dalam menjaga kelestarian lingkungan di Bali. Pasal 3 perda
RTRW Bali secara tegas mendudukan tujuan perda ini adalah untuk mewujudkan
ruang wilayah Propinsi Bali yang berkualitas, aman, nyaman, produktif,
berjatidiri berbudaya Bali, dan berwawasan lingkungan berlandaskan Tri Hita
Karana yaitu falsafah hidup masyarakat Bali yang memuat tiga unsur yang
membangun keseimbangan dan keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan,
manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungannya yang menjadi sumber
kesejahteraan, kedamaian, dan kebahagiaan bagi kehidupan manusia. Dalam Perda
RTRWP tersebut juga dimasukan Sad Kertih yaitu enam sumber kesejahteraan yang
harus dilestarikan untuk mencapai kebahagiaan lahir dan batin yang terdiri dari
atma kertih, wana kertih, danu kertih, segara kertih, jana kertih dan jagat
kertih.
Tetapi
seperti pertanyaan di atas, sipakah yang akan di untungkan apabila Perda yang
cukup ideal tersebut akan direvisi? Tentu yang di untungkan adalah para
INVESTOR, Masuknya para investor, juga membuat perubahan dalam guna tanah dan
budaya di Bali. Bukan hanya konversi lahan dari pertanian ke non pertanian,
namun perubahan lahan yang dikarenakan adanya kegiatan wisata tersebut mulai
mengancam lahan yang digunakan untuk peribadatan. Agama dan Budaya di Bali,
sangat tidak dapat terpisahkan, sampai Bali dikenal dengan 'Pulau Dewata',
begitu pula dengan budaya yang dibawa dari luar, sedikit demi sedikit mulai
mengurangi kesakralan tanah dewata. Perubahan ini sangat mengkhawatirkan bagi
Bali, sehingga Bali harus membuat 'resep' untuk pembangunan yang berkelanjutan,
menyeimbangkan antara alam dengan kegiatan manusia, mulai merevitalisasi
kembali kota dan bangunan yang bersejarah dan mulai mengadaptasi kearifan lokal
untuk membentengi diri dari pengaruh buruk globalisasi yang dapat menghancurkan
budaya Bali itu sendiri, makanya belakangan ini banyak orang yang bilang AJEG
BALI yaitu Kembali ke Bali yang murni dan damai.. Dan siapa yang akan dirugikan
apabila Perda tersebut jadi direvisi adalah Bali itu sendiri, karena wisatawan
yang berlibur ke Bali adalah untuk melihat keindahan alam, adat, budaya dan
kesakralan Bali itu sendiri, Wisatawan ke Bali bukan untuk melihat
bangunan-bangunan Beton. Dari hal tersebut maka Jangan sampai karena
iming-iming keuntungan dari investor tersebut kita mengorbankan Bali kita
sendiri. (Bersambung...)
*diterbitkan pada Majalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana, Edisi #1/ September 2012, Bali, h. 50-52.




0 komentar: